Selasa, 06 Januari 2009

Keterwakilan Perempuan dalam Legislatif; Kepentingan Bersama menuju Kearifan Bernegara

Oleh: Alifatul Arifiati

Selama ini kita sering melihat betapa banyak perempuan-perempuan yang hadir ketika ada acara pos pelayanan terpadu (posyandu), dengan tertib dan telaten memeriksakan kondisi kesehatan anak-anak mereka. Ini sangat berbeda ketika kita melihat kantor-kantor pemerintahan, berapa perempuan yang bekerja disana? Atau berapa banyak Ibu- Ibu yang diundang pada rapat warga, setingkat RW, misalnya? Padahal yang lebih tahu kondisi lingkungan 24 jam penuh adalah perempuan. Tapi setiap kali membuat keputusan untuk warga, hanya laki-laki yang diajak bermusyawarah. Padahal Imam Syafi’I dalam menentuka hukum haid, beliau selalu menanyakannya kepada perempuan.

Kini, perempuan Indonesia pantas bergembira atas keluarnya UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik yang membuka lebar kesempatan perempuan untuk merambah dunia public, terutama di bidang politik. Perempuan kini tak melulu menunaikan kerja-kerja domestik hasil paksaan tradisi, bahwa perempuan hanya laik ditempatkan pada kerjaan dapur, dan kewajiban mengurus rumah tangga lainnya.

UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang hanya ‘memperhatikan kuota 30%’ tetapi pada UU No. 2 tahun 2008 sudah mulai ada angin segar karena jelas tercantum bahwa:

•Pasal 2 ayat 2: Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

•Pasal 2 ayat 5: Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

•Pasal 20: Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing.

Setidaknya undang-undang tersebut dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk turut ambil bagian pada pencalonan legislative. Sebenarnya, seberapa penting perempuan harus menjadi anggota legislative? Semuanya berawal pada kesadaran bersama akan pentingnya kehadiran tokoh yang bisa mewakili perempuan di ruang pengambil kebijakan, yaitu Legislatif.

Perjalanan Kuota 30%

Tahun 1950-1955 hanya ada 9 perempuan yang menjadi anggota DPR RI, 3,8% dari 236 anggota yang ada. Ini sangat mempengaruhi kondisi social perempuan di masyarakat, aspirasi-aspirasi mereka tidak terdengar sampai ke kursi parlemen, seperti APBD tidak berperspektif gender alias tidak memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat perempuan, anggaran yang diposkan untuk kebutuhan-kebutuhan perempuan, seperti posyandu, puskesmas, masih sangat minim.

Melihat realitas tersebut, tahun 2003 para aktivis perempuan berfikir bahwa kondisi masyarakat perempuan yang terpuruk salah satunya dikarenakan oleh factor kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan, maka mereka mendesak pemerintah untuk menggunakan Affirmative action yang merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU.

Akhirnya keluarlah UU nO. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, pada Pasal 65
(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
yang menghimbau kepada partai politik untuk memperhatikan kuota 30% perempuan dalam kepengurusannya. Tapi, namanya juga menghimbau, maka UU tersebut hanya sekedar untuk diperhatikan oleh partai politik, tidak mengandung pressure. Pada waktu ini (2004-2009) sebesar 63 orang, 11,45% dari 545 anggota. Naik menjadi 3 kali dalam kurun waktu sekitar 60 tahun. Persentasenya sama dengan rata-rata jumlah anggota legislatif perempuan di seluruh dunia. Sementara itu, di DPRD I dan II, persentasenya jauh lebih rendah.

Lalu bagaimana kondisi perempuan setelah menguasai 11,45% kursi legislative? Nyatanya, kebijakan yang diambil oleh mereka masih sangat kurang bagi kesejahteraan perempuan, gender budgeting hanya sekedar hiasan tapi pada pelaksanaannya tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan strategis perempuan, seperti anggaran kesehatan perempuan yang masih kecil. Di Kabupaten Cirebon, misalnya, Perda Trafiking yang dari tahun 2004 hingga sekarang belum kunjung disahkan, salah satu persoalannya adalah karena kurangnya dukungan dari para Srikandi yang ada di kursi Dewan kabupaten Cirebon.

Hal itu terjadi karena pertama karena pada saat parpol mencantumkan caleg, seolah hanya asal saja, tidak memperhatikan kwalitas caleg perempuannya, asal kuota 30% memenuhi. Yang kedua, para anggota legislatif perempuan kurang memiliki perspektif gender, sehingga pada saat melakukan kerja-kerja sebagai wakil rakyat (terutama perempuan) belum menggunakan mainstreaming gender (pengarusutamaan gender).

Strategi bersama, komitmen bersama

Dengan disahkannya UU no. 2 tahun 2008, harus ada komitmen bersama dari semua pihak. Baik dari KPU, Partai Politik, maupun dari CALEG Perempuan itu sendiri, serta komitmen dari para aktivis perempuan dan masyarakat.

Tuntutan komitmen partai politik ditegaskan pada pasal 8 ayai (1) poin d bahwa untuk menjadi peserta Pemilu partai politik harus mencantumkan surat keterangan dari pengurus pusat tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Sedangkan penekanan pada KPU jelas dibunyikan pada pasal 58 ayat (2) yaitu “Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar calon tersebut.”, walaupun tidak ada sanksi yang tegas untuk menjerat parpol jika tidak memuat kuota 30%, setidaknya KPU dapat bersikap tegas atas komitmennya mendukung keterwakilan perempuan di legislatif.

Begitupun dari seluruh lapisan masyarakat, harus ada komitmen bersama. Yang pertama harus dilakukan adalah masyarakat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk duduk di legislatif. Dan yang kedua, harus ada kontrol kebijakan oleh seluruh lapisan masyarakat-terutama aktivis perempuan- atas kerja-kerja anggota legislatif perempuan, tanpa lelah mendampingi mereka untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Karena selama ini, apalah artinya mengusung mereka untuk menjadi bagian dari perumus kebijakan tanpa ada tempat untuk berdiskusi tentang strategi kesejahteraan perempuan.

Negara kita, Indonesia, adalah negara yang sangat menjunjung keadilan. Jika itu sudah kita terapkan dalam segala lini maka negara ini pasti akan menjadi negara yang sangat arif terhadap rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar