Minggu, 18 Januari 2009

Keniscayaan; Partisipasi Perempuan dalam Ranah Politik


Yu Ijah : banyak sekali poster caleg yang ditempelin dijalan-jalan, saya jadi bingung nanti milih siapa? Ibu Atun pinter, saya sering lihat dia ngisi di acra pengajian, dia juga deket sama orang-orang didesa. Tapi Pak Mantri juga baik, gimana ya?

Pak Sobri : nggak usah bingung Yu, kalau mareka sama-sama pinter, pilih aja yang laki-laki, kalau milih perempuan, apa dia bisa jadi wakil rakyat yang baik? Dia kan harus ngurusin keluarga juga, apa bisa?

Yu Ijah : ???

Perbincangan tersebut seringkali kita dengar di warung-warung kopi, ditempat arisan, pengajian, kampus bahkan dikursi para pejabat, disekitar kita. Apalagi disela-sela masa kampanye pemilihan legislatif yang sudah mulai ramai sejak 2 bulan yang lalu.

Siapa bilang perempuan tidak bisa memimpin, dan siapa juga yang bisa menjamin kalau laki-laki lebih dapat dipercaya sebagai wakil rakyat daripada kaum hawa? Ada yang bisa membuktikan? Saya yakin tidak, karena kalaupun seseorang yang mampu atau tidak mampu memimpin itu hanya persoalan kemampuan dan manajemen, bukan soal apakah dia laki-laki atau perempuan.

Tentu kita sadar betul bahwa ada 2 jenis kelamin di muka bumi ini, yang pertama adalah jenis kelamin yang bersifat kodrati (given) yaitu pembedaan fisik antara laki-laki dan perempuan yang tidak dapat diubah maupun ditukar secara fungsinya, seperi sperma untuk laki-laki dan rahim untuk perempuan. Yang kedua, pembedaan antara keduanya yang disebabkan oleh tradisi, budaya manusia, inilah yang disebut dengan jenis kelamin sosial atau sering digunakan oleh para pegiat perempuan dengan istilah peran gender.

Saya hanya ingin menegaskan bahwa kegiatan politik-tepatnya disini adalah aktivitas yang berhubungan dengan dunia politik- adalah salah satu bentuk aktivitas publik yang bisa dilakukan siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Kalaupun selama ini yang berkecimpung didalamnya lebih banyak kaum adam, hal itu disebabkan karena budaya patriarchi, bukan sebuah kodrat. Karena kita sama-sama tahu bahwa sepanjang sejarah, perempuan lebih banyak dituntut mengurus hal ihwal dapur, sumur, kasur. Tak heran kalau perempuan tidak mempunyai kesempatan untuk berfikir lebih dari itu.

Mendongkrak partisipasi perempuan di ranah politik

Ironis memang, perempuan sebagai pemilik angka tertinggi komunitas di Indonesia, hanya memiliki tak lebih dari 11% kursi untuk perempuan yaitu 62 dari 550, di lembaga -yang katanya- penampung aspirasi rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apakah angka tersebut sudah cukup representatif bagi masyarakat dengan jumlah pemilih tetap (Pemilihan legislatif tahun 2004) 148,039 juta jiwa, yang 50% lebihnya adalah perempuan?

Kita luput bahwa, bahkan Nabi Muhammad mengizinkan Aisyah, istrinya, memegang kendali pada beberapa pertempuran, seperti perang jamal. Naila istri khalifah Utsman, dicatat dalam sejarah sering terlibat persoalan-persoalan politik. Begitu juga Asyifa, Samra Al-Asadiyah, Khaula binti Tsa’labah, Ummu Syarik, Asma binti Abu Bakkar adalah sederet sahabat perempuan Nabi saw yang berpartisipasi aktif dalam persoalan politik. Belakangan nama Zubaidah istri Harun Ar-Rasyid, Syajarat Al-Durr dikenal sebagai politisi yang handal dan berpengaruh. Tentu menggelitik untuk kita sadari betapa perempuan pun bisa mempunyai kemampuan yang sama dengan siapapun. Disini, perlu ada perhatian lebih dari negara maupun agama untuk menegakkan dada dalam menapaki ranah public.

Terlihat, semakin berjalannya waktu, maka bangsa Indonesia semakin arif menempatkan perempuan pada posisi strategis sebagai bagian dari perumus kebijakan. Jelas ini mulai terlihat pada UU No. 2 tahun 2008 tentang kewajiban bagi Partai Politik agar memberi kuota 30% bagi calon lagislatif perempuan.


UU ini semacam perbaikan pada UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang hanya ‘memperhatikan’ kuota 30% tetapi pada UU No. 2 tahun 2008 sudah mulai ada memberi angin segar karena jelas tercantum dalam 2 ayat 2: Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pada pasal 2 ayat 5 dinyatakan bahwa “Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Sedangkan pada Pasal 20 dinyatakan bahwa: “Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing”.


Dengan terbitnya UU tersebut setidaknya dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk turut ambil bagian pada pencalonan legislatif. Sebenarnya, seberapa penting perempuan harus menjadi anggota legislatif? Semuanya berawal pada kesadaran bersama akan pentingnya kebijakan yang mewakili kepentingan perempuan di ruang pengambil kebijakan, yaitu Legislatif. Dan memastikan komitmen bersama dari semua pihak, untuk mewujudkan minimal kuota 30 % bagi perempuan di kursi legislatif.

Tuntutan komitmen partai politik ditegaskan pada pasal 8 ayat (1) poin d bahwa untuk menjadi peserta Pemilu partai politik harus mencantumkan surat keterangan dari pengurus pusat tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Sedangkan penekanan pada KPU jelas dibunyikan pada pasal 58 ayat (2) yaitu “Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar calon tersebut.”, walaupun tidak ada sanksi yang tegas untuk menjerat parpol jika tidak memuat kuota 30%, setidaknya KPU dapat bersikap tegas atas komitmennya mendukung keterwakilan perempuan di legislatif.


Begitupun dari seluruh lapisan masyarakat, harus ada komitmen bersama. Yang pertama harus dilakukan adalah masyarakat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk duduk di legislatif. Dan yang kedua, harus ada kontrol kebijakan oleh seluruh lapisan masyarakat-terutama aktivis perempuan- atas kerja-kerja anggota legislatif perempuan, tanpa lelah mendampingi mereka untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Karena selama ini, apalah artinya mengusung mereka untuk menjadi bagian dari perumus kebijakan tanpa ada tempat untuk berdiskusi tentang strategi kesejahteraan perempuan.


Negara kita, Indonesia, adalah negara yang sangat menjunjung keadilan. Jika itu sudah kita terapkan dalam segala lini maka negara ini pasti akan menjadi negara yang sangat arif terhadap rakyatnya. Semoga…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar